Terimakasih telah berkunjung di blog HESTI

Rabu, 11 Januari 2012


Warga Desa Hargorojo Sebuah Cerminan Harmonisasi Agama
A.   Studi Kasus 
Toleransi tingkat tinggi, Satu keluarga beda agama ??? Tidak menjadi masalah !!! Seiring dengan disharmoni antar umat beragama yang terjadi dewasa ini.
Ada sebuah pemandangan yang sangat indah di Desa Hargorojo. Toleransi antar umat beragama tertanam kuat di desa yang berada di wilayah tenggara Kabupaten Purworejo itu. Sebuah keindahan interaksi dan sangat layak dicontoh sekaligus menjadi cermin yang jernih bagi manusia yang mengaku sebagai warga negara Indonesia. ( Hendri Utomo, Radar Jogja ). Desa Hargorojo dihuni 463 kepala keluarga (KK) terdiri dari 1760 jiwa. Mereka tersebar di lima dusun (Dusun Plarangan, Sukuning, Curug, Ngargo dan Dusun Setoyo).
Ada tiga agama yang berkembang di desa yang mayoritas penduduknya sebagai petani itu. Islam sekitar 70 %, Budha 19 % dan sisanya beragama Katolik. Kayakinan mereka terhadap agama seolah cukup tersimpan di dalam hati. Sementara persatuan terbungkus indah dan sangat erat dalam setiap geliat kegiatan sosial kemasyarakatan. Sikap toleransi mewarnai kehidupan sehari-hari, tidak ada saling mempengaruhi, saling curiga apalagi saling melukai. Kepala Desa Hargorojo, Haryanti didampingi Sekertaris Desa (Sekdes) Nanang Kosim mengatakan, Desa Hargorojo bahkan terdapat beberapa tempat ibadah, sedikitnya ada dua Masjid dan delapan mushola. Tidak hanya tempat peribadatan umat Islam, di Desa Hargorojo juga ada empat tempat ibadah penganut Agama Budha. Empat vihara Budha itu yakni vihara Vimalakirti Dusun Setoyo, dan vihara Dhamma Guna Dusun Sekuning, dua vihara lainnya di desa tersebut. “Pluralisme yang menawan itu juga ditandai dua aliran yakni Budha Dharma Indonesia (BDI) yang berpusat di Jepang, dan Budha Terapada yang berpusat di Borobudur (Magelang,red) yang tidak menunjukkan siapa yang paling benar, kendati demikian hubungan intra dan antar umat beragama di Desa Hargorojo tidak pernah berujung konflik atau tersentuh isu sara sekalipun.
Kegiatan sosial menjadi lem yang sanggup merekatkan warga. Kami membaur menjadi satu dan saling membantu," ucap Haryanti, Selasa (1/3) kemarin. Setiap perayaan hari raya keagamaan, sambung Haryanti, warga sudah terbiasa saling menghormati. Sejak agama Budha ada di Desa Hargorojo sekitar tahun 1970, tetap bisa hidup berdampingan dengan pemeluk umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas di Hargorojo kini. "Di Dusun Setoyo bangunan vihara dan mushola bahkan hanya berjarak kurang dari 50 meter. Setiap ada kegiatan keagamaan mereka bahkan saling membantu. Maka interaksi sosial itu lebih kental dan menghapus perbendaan keyakinan warga," paparnya. Semangat nasionalisme juga selalu memancar dari Desa Hargorojo. Terlebih dalam peringatan HUT RI setiap tanggal 17 Agustus. Seluruh warga dan semua penganut agama di Desa Hargorojo berbaur menjadi satu. Mengikuti malam tirakatan, merenung dan berdoa bersama sesuai dengan keyakinan masing-masing. "Tidak ada sekat dan pembatas sedikitpun dalam kehidupan bersosial. Kerja bakti misalnya, penganut Budha disana! umat Islam disini! Katolik disitu! kalimat itu tidak ada sekalipun dalam bentuk idiom, kami juga saling membantu tanpa memandang mereka penganut agama apa dalam setiap kesusahan. Warga yang terkena bencana longsor  bersama-sama bergotong-royong. Disini sangat damai dan tentram, "tambah Nanang.
       "Disini ada beberapa keluaga yang bapak-ibunya menganut agama Budha, anaknya menganut agama Islam. Dan ketika menikah umpamanya? orang-tuanya juga ikut mengantarkan ke KUA, dan itu sudah biasa. Keyakinan benar-benar menjadi sebuah hak asasi mutlak disini," ujarnya. Berdasarkan penelusuran Radar Jogja di lapangan, bencana tanah longsor di Desa Hargorojo cukup menjadi sebuah bukti, tingginya nilai toleransi beragama di Hargorojo. Seperti diberitakan sebelumnya, tanah longsor di Desa Hargorojo sempat menimpa rumah Kasman yang belakangan diketahui salah seorang penganut agama Budha.
Kendati demikian yang datang membantu memperbaiki rumahnya hampir seluruh. "Ya saya penganut agama Budha, kami sudah biasa saling tolong-menolong. Tidak pernah ada singgungan keyakinan disini. Indah, sangat indah dan itu yang membuat saya betah hidup disini, sambatan (kerjabakti,red) membetulkan rumah ini, tidak harus diperintah. Pentong Mangkat (Pukul kentongan semua bergerak dan berangkat,red)," tandasnya. (tom)
Elmirzanah, Syafa’atun. 2002. Pluralis, Konflik, dan Perdamaian. Yogyakarta: The Asia Foundation
B.     Tanggapan Terhadap Isi Artikel
Menurut saya penduduk masyarakat yang ada di Desa Hargorojo merupakan salah satu contoh yang sangat baik dalam hal toleransi antar pemeluk agama (umat beragama), karena di desa tersebut mempunyai komponen masyarakat yang beranekaragam (pluralis) mereka tetap hidup saling bertoleransi dan bahkan sampai tidak ada konflik sama sekali. Hal ini sebenarnya juga termasuk salah satu kesadaran masing-masing individu untuk saling menghormati antar maupun intra umat beragama. Tanpa adanya suatu kesadaran dari masing-masing individu, kerukunan dan kebersatuan antar umat beragama ini mustahil akan terbentuk. Warga desa tersebut juga berpandangan bahwa dengan adanya beraneka ragam agama yang ada di Desa Hargorojo tidak menjadi bahan untuk perpecahan tetapi mereka tetapi mereka justru menjadikan perbedaan tersebut untuk dijadikan sebuah kekuatan. Yaitu kekuatan untuk membangun kerjasama dan kegotongroyongan. Contoh konkretnya seperti yang telah dipaparkan di atas, walaupun di Desa Hargorojo masyarakatnya terdiri dari beraneka ragam agama tetapi mereka tetap bekerjasama membangun rumah (istilah Jawanya “sambatan”) tanpa memandang agama yang dianut oleh orang lain. Mereka menganggap netral dan justru dengan adanya berbagai agama di desa tersebut menjadikan desa tersebut kerukunannya semakin kuat dan bahkan tidak pernah ada yang namanya konflik. Keadaan seperti ini juga bias terbentuk karena dalam hal sosial antara warga yang satu dengan yang lain saling tolong menolong, tetapi kalau dalam urusan agama mereka juga menyesuaikan dengana apa yang mereka percayai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan Desa Hargorojo warga-warganya pas menempatkan kedudukannya sebagai makhluk yang bertuhan (transendental) dan makhluk social yang tidak bias hidup sendiri tanpa berhubungan, bersosialisasi,berinteraksi dengan orang lain (humanisasi). Jadi supaya kerukunan antar uamt beragana itu dapat terwujud maka hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan harus seimbang.

C.     Solusi
Agar kerukunan antar umat beragama selalu terjaga maka dari contoh yang ada di artikel tersebut patut untuk dijadikan contoh. Dan supaya kerukunan ini selalu terjaga, maka warga Desa Hargorojo harus tetap saling menghormati, bertenggang rasa, bertoleransi,dll. Karena dengan banyaknya pengaruh yang datang dari luar (ekstern) maupun intern yang cenderung kebarat-baratan hal ini akan lebih memudahkan terjadinya perpecahan. Selain itu hal yang paling kecil dan paling penting adalah memberikan hak yang dimiliki oleh orang lain. Misalnya saja ada dua orang yaitu si-X dan si-Y, dua orang ini adalah sahabat karib tetapi mereka berdua memiliki agama yang berbeda, si-X beragama Islam dan si-Y beragama Kristen (protestan). Pada saat hari Jum’at mereka sedang bermain bersama dan pada saat itu pula terdengarlah seruan suara adzan untuk melaksanakan shalat Jum’at, dengan penuh kesadaran si-Y memberikan hak kepada si-X untuk beribadah dulu. Dari contoh yang kecil ini dapat kita tarik kesimpulan memberikan hak kepada orang lain itu sangatlah penting, apalagi dalam masalah peribadahan. Dilihat dari contoh yang ada di Desa Hargorojo kehidupan mereka terlihat harmonis karena mereka saling memberikan hak yang dimiliki oleh orang lain. Selain memberikan hak kepada orang lain perlu juga diadakan kegiatan sosial (gotong royong misalnya), karena dengan diadakannya kegiatan sosial maka semua warga masyarakat semua akan ikut bekerja tanpa memandang agama apa yang mereka anut. Ketiadaan perdamaian yang ada selama ini sebagian disebabkan karena gagalnya agama-agama untuk membagi atau berbagi dengan yang lain yang memungkinkan mereka berbicara satu sama lain, belajar dari yang lain, bekerja sama dengan yang lain. Meuasnya penderitaan dan ketakutan terhadap apa yang akan terjadi, semakin perpengaruhnya rasa tidak percaya terhadap orang lain, kecurigaan, sudah selayaknya akan member semangat bagi kerjasama antar agama.
Dunia sedang menghadapi krisis yang menganut tanggung jawab semua agama, tidak hanya satu agama. Krisis ini terutama disebabkan oleh ketidakadilan, eksploitasi social, ekonomi, politik dan ketidakadilan ras maupun gender juga ancaman konflik dan agresi militer, serta eksploitasi dan kerusakan ekosistem. Semakin banyak orang yang sadar akan perlunya pembebasan dari penderitaan dan perlunya memelihara serta memulihkan kehidupan. Kesempatan ini menjadi relevan bagi agama-agama untuk menjadikannya sebagai arena untuk bertemu, bekerjasama, melakukan dialog-dialog serta komunikasi yang konstruktif. Dilihat dari lingkup yang lebih luas, ada beberapa hal yang menjadikan dialog keagamaan ini menjadi suatu keharusan. Keharusan tersebut adalah:
a.       Kesadaran akan ketidakterbatasan yang Ilahi
Agama merupakan sosialisasi pengalaman iman dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan sejarah pengalaman iman masing-masing, agama mempunyai keunikan masing-masing yang Nampak dalam symbol yang digunakan untuk berhubungan dengan Yang Ilahi tersebut. Adapun symbol sifatnya terbatas. Tidak ada symbol yang sepenuhnya mengungkapkan kenyataan Ilahi dan yang mampu mengatasi segalanya. Agamapun sifatnya terbatas, itulah sebabnya agama membutuhkan korelasi (hubungan timbale balik), tidak saja dengan agama yang lain, tetapi dengan fakta-fakta yang ada di sekitarnya.
b.      Kesadaran akan perlunya salin melengkapi
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa ada proses dimana orang bias belajar banyak, langsung atau tidak langsung dari agama-agama lain. Pada moment inilah, orang bias memperkaya keyakinan agamanya sendiri tanpa harus berpindah agama. Artinya keyakinan iman seseorang terhadap agamanya tidak akan diubah, tetapi diperkaya dan diperteguh dari hasil pembelajaran bersama.
c.       De-absolutisme kebenaran
Tidak ada pengalaman keagamaan yang absolut. Terdapat perbedaan antara kebenaran dengan ekspresi-ekspresi tentang kebenaran. Klaim kebenaran yang absolut tidak pernah menjadi suatu kenyataan dalam ekspresi kontekstualnya. Kebenaran selalu dinyatakan dengan keterbatsan manusia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar