Terimakasih telah berkunjung di blog HESTI

Rabu, 11 Januari 2012

Pasar Tradisional Sebagai penopang Matapencaharian Masyarakat di Daerah Sekitar Keraton (Yogya-Solo-Sragen)

Masyarakat di Yogyakarta-Solo-Sragen adalah masyarakat yang sangat kompleks, masyarakat penyusunnya pun juga cukup bervariasi. Hal ini terlihat pada berbagai faktor dalam berbagai sektor.
Faktor yang mempengaruhi bervariasinya atau kemajemukan masyarakat tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi, budaya, infrastruktur masyarakat dan masih banyak faktor lain yang mempengaruhi. Dan dalam paper yang saya buat di sini saya mengambil permasalahan dari sudut pandang faktor perekonomian dari sektor pasar tradisional yang ada di Yogyakarta-Solo-Sragen. Walaupun masyarakat di Yogyakarta-Solo-Sragen majemuk dan sudah berkembang sesuai dengan perkembangan dunia modern, tetapi pasar tradisional juga masih menjadi salah satu segi penopang matapencaharian di daerah tersebut. Pasar yang ada di Yogyakarta-Solo-Sragen juga bermacam-macam, ada pasar tradisional, ada pula pasar modern. Dan dilihat dari segi yang diperjualbelikan pun juga cukup banyak, ada yang menjual barang, ada yang menjual jasa. Antara satu pasar dengan pasar yang lain mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap penopang matapencaharian masyarakat di daerah tersebut. Di dalam paper yang saya buat ini saya mengangkat tiga pasar yang akan saya bahas yaitu:
1. Pasar Beringharjo    (Yogyakarta)
2. Pasar Bunder            (Sragen)
3. Pasar Klewer              (Solo)      
Dalam tiga pasar tersebut terdapat perbedaan, baik itu dari sejarah berdirinya pasar, ciri masing-masing setiap pasar, barang yang diperdagangkan, perkembangan pasar itu setiap tahun, pendapatan setiap pedagang di setiap pasar, keuntungan rata-rata yang diperoleh setiap pedagang, pengaruh pasar terhadap sendi perekonomian bagi masyarakat, terutama yang bermatapencaharian sebagai penjual dan pembeli. Tetapi dengan adanya perbedaan tetap diperoleh suatu gambaran tentang asas kebersamaan terhadap tiga pasar tersebut yaitu sama-sama pasar tradisional di daerah keraton.


1.      Pasar Bringharjo
Sejarah Singkat Beringharjo
Pasar Beringharjo telah terdiri sejak tahun 1925. Pasar ini terletak di Jl. Pabringan No. 1 Yogyakarta. Keberadaan pasar Beringharjo tidak dapat dipisahkan dengan Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat, sebab pasar ini didirikan dan merupakan milik Kraton Yogyakarta. Pembanguan fisik pasar sendiri dimulai pada tahun 1927, juga prakarsa pihak Kraton. Pasar ini telah menjadi pusat kegiatan ekonomi selama ratusan tahun dan keberadaannya mempunyai makna historis dan filsofis dengan Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Pasar Beringharjo merupakan salah satu komponen utama dalam pola tata kota kerajaan Islam yang biasa di sebut pola ”CATUR TUNGGAL”yaitu Kraton, Alun-alun, Pasar dan Masjid.
Lokasi pasar Beringharjo ini, dahulu merupakan lapangan luas, berlumpur dan becek yang banyak di tumbuhi pohon beringin, sebelah timur adalah bekas makam orang-orang Belanda. Tempat ini secara resmi di pergunakan sebagai ajang pertemuan rakyat, setelah di tunjuk oleh Sri Sultan pada tahun 1758, kemudian orang-orang mulai memanfaatkan dengan mendirikan ”payon-payon” sebagai peneduh dari panas dan hujan, keadaan itu berlangsung hingga tahun 1920.
Pasar Beringharjo dibangun di atas tanah seluas 2,5 ha, ini telah mengalami rehabilitasi sebanyak 2 kali yaitu pada tahun 1951 dan tahun 1970. Seiring dengan perkembangan zaman dan pemerintah maka pengelolaan pasar Beringharjo diambil alih oleh pemerintah Daerah Tingkat II Yogyakarta. Pemerintah Daerah Kotamadya Yogyakarta bermaksud merehabilitasi pasar sacara keseluruhan. Pemikiran ini mulai terwujud pada tahun 1974 yaitu berupa bentuk gambar bangunan pasar yang disertai dengan pengkajian dan rencana pelaksanaan pembangunan. Keadaan mulai berkembang, maka pada tanggal 24 Maret 1925 Nederlansch Beton Maatshapij di tugaskan membangun los-los pasar dan berhasil membangun 11 Los. Pasar Beringharjo yang berkontruksi beton bertulang dengan arsitektur bergaya tropis disebut oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai ”EENDER MOOISTE PASSERS OP JAVA”, yang artinya pasar terindah di Jawa. Nama Beringharjo baru diberikan setelah bertahtanya Sri Sultan Hamengkubuwono IX, beliau memerintahkan agar nama-nama jawa dipergunakan untuk semua instansi dibawah kasultanan. Beringharjo merupakan nama yang paling sesuai untuk nama pasar di tengah kota, meningkatkan lokasi itu dahulu kala adalah hutan beringin. Pohon beringin menunjukan kebesaran, serta pengayoman bagi banyak orang, jadi sesuai dengan apa yang diemban pasar tersebut sebagai pasar pusat atau pasar ”Gedhe” bagi kota Yogyakarta. Pasar Beringharjo pernah mengalami musibah kebakaran yang terjadi pada tahun 1986. Kebakaran yang menyebabkan musnahnya 2 unit los dagangan mengakibatkan terjadinya pemindahan pedagang ke Benteng Vradeburg dan sebelah selatan pasar, sementara bangunan pasar diperbaiki. Dalam perkembangan selanjutnya pasar Beringharjo tidak hanya sebagai tempat berbelanja, tetapi juga merupakan suatu alat yang dapat mendukung sektor pariwisataan di Yogyakarta.

2.      Pasar Bunder
Pasar Bunder adalah pasar hasil bumi terbesar di Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Pasar Bunder dikelola oleh Dinas Perdagangan dan Perpajakan Daerah (DP2D) Kab. Sragen. Pasar Bunder terletak cukup dekat dengan pusat Kota Sragen. Kantor Pengelola Pasar Bunder berada di Jl. Diponegoro dengan batas pasar sebelah utara adalah rel kereta api. Sebelah utara rel masuk wilayah Pasar Kota sedangkan sebelah selatan rel masuk wilayah Pasar Bunder. Sebelah barat dibatasi oleh Jl. A. Yani / PG. Mojo. Sebelah selatan Jl. R.A. Kartini sedangkan sebelah timur dibatasi oleh Jalan Gajah Mada. Nama Pasar Bunder konon berasal dari sejarah pasar itu sendiri yang dulunya adalah sebuah lapangan yang berbentuk bundar, bundar dalam bahasa jawa adalah bunder sehingga sampai sekarang bekas lapangan yang kini berubah menjadi pasar itu lebih terkenal dengan nama Pasar Bunder.
Aktifitas perdagangan di Pasar Bunder berlangsung 24 jam per hari dengan komoditas utama yang diperjual-belikan adalah kebutuhan pokok masyarakat seperti sayur mayur, hasil bumi, kebutuhan rumah tangga, daging dan ikan segar, pakaian dan lain sebagainya. Pasar Bunder berdiri di atas lahan seluas 17.995 m2, jumlah Kios sekitar 455 unit dan jumlah Los 45 unit. Dari 45 unit Los tadi kemudian masih dibagi lagi menjadi beberapa petak. Jumlah pedagang di Pasar Bunder mencapai sekitar 2.369 pedagang. Revitalisasi Pasar Bunder dimulai pada tahun 2006. Sebelum diperbaiki kondisi Pasar Bunder cukup memprihatinkan karena terkesan kumuh, semrawut, kotor dan bau tidak sedap. Anggaran untuk revitalisasi Pasar Bunder berasal dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten. Total anggaran yang dibutuhkan untuk merevitalisasi Pasar Bunder sekitar Rp. 17 M. Tahun 2009 juga telah diselesaikan pembangunan Los Hanggar Khusus Daging/Ikan Segar dan usaha selep daging dan kelapa. Los ini dibangun terpisah dari bangunan pasar utama dengan luas bangunan sekitar 1.560 m2. Los Khusus ini nanti dapat menampung 45 pengusaha selep dan 146 pedagang daging dan ikan segar
Pada 10 April 2008 Pemkab Sragen bekerjasama dengan Yayasan Danamon Peduli berusaha mewujudkan pasar tradisional yang bersih dan sehat melalui pengolahan sampah organik yang berasal dari Pasar Bunder menjadi pupuk organik. Pada akhir tahun 2008 Kementrian Kesehatan RI membuat percontohan Pasar Sehat di 10 pasar yang berasal dari 10 Kabupaten/Kota se Indonesia. Salah satu pasar tradisional yang ditunjuk untuk menjadi pilot project Pasar Sehat dari Kementrian Kesehatan RI adalah Pasar Bunder Sragen.
Tak ada gading yang tak retak, seperti Pasar Bunder juga masih mempunyai banyak kekurangan. Ibarat buah durian yang elok di dalam namun kondisi luarnya tidak begitu enak dipandang, kondisi bangunan bagian dalam Pasar Bunder juga sudah cukup representative dengan sarana dan prasarana yang cukup mendukung bagi pedagang untuk berjualan. Namun bila kita melihat kondisi luar Pasar Bunder masih kurang layak karena kebanyakan masih merupakan bangunan lama belum ada pembangunan kembali. Rencana dari Pemkab Sragen untuk pengembangan ke depan adalah membangun kios keliling sejumlah 274 unit dengan mengupayakan bantuan dari APBN dan partisipasi dari pedagang
3.      Pasar Klewer
Ini pasar kain dan sudah ngetop menjadi pasar Mangga DuanyaSolo. Semula merupakan Pasar burung di Slompretan. Nama Slompretan berasal dari plesetan Pakretan, dari asal kata kreta. Dulu banyak kereta yang parkir di Nglorengan ini Karen penumpangnya akan menghadap sang raja. Karena banyak kereta yang parkir, daerah ini lalu disebut Pakretan yang di plesetkan menjadi Slompretan. Nama Nglorengan sendiri berasal dari sinyo Belanda bernama Lourens yang dalam lidah Jawa menjadi Loreng hingga menjadi Nglorengan. Pasar Klewer kini penuh dengan kain batik Disebut Pasar Klewer diawali banyaknya penjual kain yang tidak punya kios yang dompleng jualan di pasar burung. Maklum pasar burungnya ramai. Simbok pedagang kain jarit, lendang dan kebaya hanya ditaruh di pundak, padahal dagangannya dibuka lembaran. Tak heran dagangannya menjuntai-juntai keleweran di tubuhnya. Si embok penjual kain ini mengejar pembeli agar dagangannya dibeli. Lebih baik beli baju daripada beli burung, kan bapaknya sudah punya burung, kata mereka. Kian hari pedagang kain kelewran ini kian banyak, malah lebih banyak dari pada penjual burungnya, sehingga pedagang burung dpindah ke Pasar Widuran. Akhirnya pedagang keleweran ini dibuatkan gedung pasar dan diberi nama Pasar Klewer sesaui dengan sejarahnya yang kainnya keleweran di pun dak si bakul.
Pasar Klewer merupakan pusat pasar dimana sebagian besar aktivitas warga Solo berpusat disana. Dari pakaian atau tekstil yang mendominasi, makanan, sampai ke pernak pernik perhiasan dijual disana. Letaknya berdekatan dengan Keraton Solo dan alun-alun, sehingga hampir setiap hari daerah ini tak pernah sepi dari hiruk pikuknya jalan. Semenjak dibangun pada 1970, perkembangan Pasar Klewer Solo bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Melesat untuk kemudian menjadi pasar tekstil yang besar. Bahkan, mungkin salah satu yang terbesar di Indonesia.Karena itu tak mengherankan bila kini, menurut data dari Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) dan Dinas Pasar Klewer, jumlah pedagang di pasar tersebut adalah 1.467 pedagang. Hebatnya lagi, dari jumlah pedagang sebanyak itu, uang yang berputar setiap harinya (transaksi berjalan) Rp 5 miliar - Rp 6 miliar.
Sementara per tahunnya, pasar tersebut menghasilkan pendapatan dari retribusi Rp 3 miliar. Jumlah yang cukup besar, karena jika dikalkulasi, jumlah pendapatan retribusi itu telah memenuhi hampir 5% RAPBD Kota Surakarta 2004 dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 53.546.938.996.Bukan hanya itu, selain mendukung perekonomian daerah, keterkenalan Klewer sebagai pusat perdagangan tekstil juga turut mendukung dunia pariwisata di Kota Solo. Terbukti, sampai sekarang pasar tersebut sering dijadikan alternatif untuk kunjungan para wisatawan. Tentang hal tersebut, mantan Ketua HPPK periode 1998-2003 Hafids Safari malah mengatakannya sebagai three in one ketika mengibaratkankeberadaan dan kedekatan area antara Keraton Surakarta Hadiningrat, Masjid Agung dan Pasar Klewer. ''Dalam dunia pariwisata di Solo, saya memandang seperti itu. Artinya antara keraton, Masjid Agung dan Pasar Klewer itu sudah menjadi satu kesatuan utuh yang kemudian membuat semacam garis kunjungan wisata. Itulah yang saya maksud dengan three in one,''


1 komentar:

  1. memang pasar tradisional sudah terlanjur menjadi motor penggerak ekonomi warga, tapi sayangnya sekarang sudah mulai tergerus oleh pasar modern

    BalasHapus