Terimakasih telah berkunjung di blog HESTI

Minggu, 01 Januari 2012

MAX WEBER



      A.    Biografi Max Weber
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada tanggal 21 April 1864, dari keluarga kelas menengah. Perbedaan antara orang tuanya membawa dampak besar pada orientasi intelektual dan perkembangan psikologinya. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relative penting.
Ia jelas merupakan bagian dari kemapanan politik dan akibatnya ia abstain dari aktivitas dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau mengancam posisinya dari dalam system. Selain itu, weber senior adalah seseorang yang menikmati dunia, dan dalam banyak hal ia sangat berlawanan dengan istrinya.
Ibu Max Weber adalah seorang calvinis yang sangat religious, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perhatiannya lebih kearah dunia lain, ia terusik oleh ketidaksempurnaan yang merupakan tanda bahwa ia tidak ditakdirkan untuk mendapatkan keselamatan. Perbedaan tajam antara kedua orang tuanya menyebabkan ketegangan rumah tangga, dan perbedaan serta ketegangan tersebut membawa dampak besar bagi Weber. Karena tidak mungkin mendamaikan kedua orang tuanya, sebagai seorang anak Weber dihadapkan pada pilihan sulit. Mula-mula ia lebih cenderung pada pola kehidupan ayahnya, namun kemudian ia lebih dekat dengan ibunya. Apapun pilihannya, ketegangan yang ditimbulkan oleh kebutuhan untuk memilih dua kutub tersebut membawa pengaruh negative terhadap psikis Max Weber.
Pada usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg. Weber telah menunjukkan kemampuan intelektualnya, namun dalam hal derajat social ia memasuki Universitas  Heidelberg dengan malu-malu dan terbelakang. Namun hal tersebut cepat berubah setelah ia tertarik pada cara hidup ayahnya dan bergabung dengan organisasi kepemudaan yang penuh persaingan, tempat ayahnya dulu juga pernah terlibat. Di sana ia berkembang secara social, paling tidak sebagian, karena banyaknya bir yang ia konsumsi bersama dengan rekan-rekannya. Selain itu, dengan bangga ia menampilkan bekas luka akibat perkelahian yang merupakan tanda dari organisasi tersebut. Weber tidak hanya mewujudkan identitasnya dengan cara hidup ayahnya dengan cara seperti ini, namun juga memilih, paling tidak pada saat itu, karier ayahnya-hukum. Setelah tiga tahun, Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan ke rumah orang tuanya untuk megambil kuliah di Universitas Berlin. Ia tetap di sana selama hampir delapan tahun kemudian ketika ia menyelesaikan studinya, meraih gelar doctor, menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses ini, minatnya lebih banyak beralih ke persoalan-persoalan sepanjang masa-ekonomi, sejarah, dan sosiologi. Selama delapan tahun di Berlin, secara financial Weber tergantung pada ayahnya, satu situasi yang semakin tidak ia sukai. Pada saat yang sama, ia semakin mendekati nilai-nilai ibunya, dan antipati terhadap ayahnya meningkat. Ia menjalani kehidupan asketis dan tenggelam dalam kerjanya. Mengikuti ibunya, Weber menjadi seorang asketis dan rajin, seorang pekerja giat (gila kerja). Pada tahun 1896 giatnya dala bekerja ini membawanya pada posisi seorang professor ekonomi di Heidelberg, namun pada tahun 1897 ketika karier akademik berkembang ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar hebat dengannya. Tidak lama setelah itu Weber mulai menunjukkan gejala yang membawanya pada keruntuhan mental. Sering kali tidak dapat tidur atau bekerja, Weber menghasilkan enam atau tujuh tahun kemudian dalam kondisi yang hampir mati suri. Setelah lama berselang tenaganya pulih kembali pada tahun 1903, namun tidak sampai 1904, ketika ia menyampaikan kuliah perdananya di Amerika Serikat dalam kurun waktu enam setengah tahun, Weber mampu kembali aktif dalam kehidupan akademi. Pada tahun1904 dan 1905, ia menerbitkan karya terkenalnya, The Protestant Ethnic and The Spirit of Capitalism. Dalam karya ini, Weber menyatakan kesalihan sang ibu yang diwarisinya pada level akademi. Weber banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari agama kendati secara pribadi ia tidak reigius.
Meskipun ia dihinggapi masalah psikologis, setelah tahun 1904 Weber mampu bekerja kembali, menghasilkan karya pentignya. Pada tahun-tahun itu, Weber menerbitkan studinya tentang agama-agama dunia dalam perspektif sejarah dunia. Ketika ia meninggal (14 Juni 1920) ia tengah mengerjakan karya terpentingnya, Economy and Society. Meskipun bukunya diterbitkan dan kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, buku ini tidak selesai. Selain menghasilkan banyak tulisan ketika itu Weber melakukan sejumlah aktifitas lain. Ia membantu mendirikan masyarakat Sosiologi Jerman pada tahun 1910. Rumahnya menjadi pusat bagi banyak intelektual, termasuk sosiolog seperti Georg Simmel, Robert Michels dan saudaranya Alfred Weber, maupun filsuf kritik sastra Georg Lukacs. Selain itu ia aktif secara politik dan menulis banyak esai tentang sejumlah isu pada masanya. Dalam kehidupan Weber, dan lebih penting lagi, dalam karya-karyanya, terdapat ketegangan antara pikiran birokratis, sebagaimana ditampilkan oleh sang ayah, dengan religiusitas ibunya. Ketegangan yang tak terpecahkan itu merasuk ke dalam karya Weber dan dalam kehidupan pribadinya.
B.     Warisan Idealisme Historisisme Jerman dan Sosiologis Interpretatif (Verstehen)
1)      Warisan Idealisme Historisisme Jerman
       Konsep Sosiologi Weber, sebagaimana yang telah kita ketahui, dipandang sebagai suatu upaya yang menengahi antara dua cara pandang yang bertentangan yang terjadi di jerman pada masanya. Posisi pertama, adalah mereka yang di ilhami oleh keberhasilan ilmu alam, yang meyakini bahwa metode mereka akan mampu memacu perkembangan studi manusia dan masyarakat. Sebaliknya pandangan yang kedua, menekankan bahwa sesuatu yang penting dalam manusia (spirit, pikiran, budaya dan sejarahnya) tidak akan mampu di pahami melalui teknik-teknik ilmu alam, karenanya pandangan yang pertama itu sifatnya superficial (hal-hal yang ada di permukaan) dan hanya menyangkut aspek-aspek manusia yang eksternal saja.
Psikologisme, positivisme dan behaviorisme merupakan prinsip-prinsip manifestasi dari pijakan pandangan pertama, yang bertentangan dengan Husserl dan Scheler sebagaimana yang telah kita lihat, telah mengembangkan perspektif pendekatan fenomenologi. Sedangkan weltanschuungsphilosophi dan historisme merupakan contoh dari pijakan yang kedua. Pemikiran ini menekankan bahwa keunikan spirit manusia membutuhkan beberapa metode yang khusus sehingga seseorang mampu memahinya secara autentik. Hanya dengan intuisi yang simpatik dan pemfokusan terhadap makna itulan yang akan mampu menghasilkan suatu pemahaman budaya dan sejarah secara memadai. Menurut Weber, dalam memahami sosio budaya maka di perlukan beberapa metode khusus dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan manusia. Dengan pengertian semacam ini, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang meilbatkan dirinya dengan penafsiran dan pemahan tindakan manusia secara sensitif. Penjelasan sosiologi haruslah memadai dalam tahapan makna. Tetapi ini bukan berarti bahwa Weber menyatakan bahwa sosiologi harus menghilangkan hubungan-hubungan kausal dalam berbagai fenomena sosial. Weber menunujukkan bahwa keterlibatan dengan kausal (hukum sebab akibat) dan generalisasi merupakan suatu hal yang umum dalam semua ilmu, maka demikian pula hal ini harus dijadikan fokus utama dalam ilmu sosial. Dengan cara seperti ini, Weber mencoba memperbarui apa yang dianggap penting oleh kedua pijakan yang bertentangan tersebut. Dengan adanya kondisi manusia semacam itu, maka tidak ada ilmu yang akan dapat memahami secara benar jika menghilangkan makna dan kesulitan itu. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang hadir secara bersamaan untuk memahami makna subjektif manusia yang diatributkan pada tindakkan-tindakkannya dan sebab-sebab objektif serta konsekuensi dari tindakannya. Perlu diingat bahwa makna juga merupakan suatu komponen kausal dari suatu tindakan. Definisi Weber yang terkenal tentang tindakan tersebut adalah sebagai berikut “ suatu tindakan sosial itu merupakan suatu tindakan yang subjektif yang juga meliputi tindakan yang lainnya” dan diorientasikan dalam bentuk tindakan sosial. Secara ideal sosiologi haruslah menyediakan suatu penjelasan yang memadai pada dua tingkatan : pada tingkatan arti dan tindakan kausalitas. Istilah yang subjektif sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Weber, merupakan suatu hal yang penting. Sebab dengan cara ini akan membedakan secara tegas orang yang mengabaikan arti dalam mempelajari manusia dengan orang meyakini bahwa arti itu merupakan suatu hal yang objektif dan mutlak. Menurut Weber demikian pula Scheller, etika, estetika, dan beberapa cabang budaya itu kebenaran dan kevaliditasan tidak ditentukan oleh standar transidental metafisika. Subyektif itu merujuk pada makna dari actor-aktor itu sendiri yang memberikan atribut pada tindakan mereka dimana ini mengartikan bahwa seseorang haruslah berusaha keras untuk memahaminya.
Weber muda adalah seorang peneliti aktif mengenai kebijakan sosial dan kondisi kaum buruh, Weber yang lebih akhir melakukan riset mengenai psikofisika dalam kerja industrial, serta merupakan partisipan dalam negosiasi perdamaian Versailles dan contributor untuk konstitusi Weimar. Simpati Max Weber konon lebih dekat kepada Partai Sosial Demokrat Jerman dari pada apa yang diakuinya, setidaknya tertuju pada aliran reformasinya.  
2)      Sosiologis Interpretatif (Verstehen)
                  Teori sosiologi interpretatif berpandangan bahwa dunia sosial berbeda dengan dunia alam harus dimengerti sebagai suatu penyelesaian secara terlatih dari manusia sebagai subyek yang aktif dan pembentukan dunia ini sebagai sesuatu yang mempunyai makna, dapat diperhitungkan atau dimengerti dengan jelas. Menurut Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretative dimaksudkan agar dalam menganalisis dan mendeskripsikan masyarakat tidak sekedar yang tampak saja, melainkan dibutuhkan interpretasi agar penjelasan tentang individu dan masyarakat tidak keliru. Weber merasa bahwa sosiolog  memiliki kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuwan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang perilaku atom dan ikatan kimia.
Kata pemahaman dalam bahasa Jerman adalah verstehen. Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber dalam penelitian historis adalah sumbangan yang paling banyak dikenal, dan paling kontroversial, terhadap metodologi sosiologi kontemporer. Ketika kita mengerti apa yang dimaksud Weber dengan kata verstehen, kita pun akan menggarisbawahi beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger, Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal di kalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan diatas, Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika ( Martin, 2000;Pressler dan Dasilva, 1996). Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial : memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsep verstehen  adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan “intuisi”, irasional, dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati, atau empati. Baginya, verstehen melibatkan penelitian sistematis dan ketat dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1967) melihat verstehen sebagai alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
       Max Weber juga memasukkan problem pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya, yang sebagaimana cenderung ia tekankan adalah salah satu tipe sosiologis dari sekian kemungkinan lain. Karena itulah ia menyebut perspektifnya sebagai sosiologi interpretatif atau pemahaman. Menjadi ciri khas rasional dan positivisnya bahwa ia mentransfermasikan konsep tentang pemahaman. Meski begitu baginya pemahaman tetap merupakan sebuah pendekatan unik terhadap moral atau ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan manusia ketimbang dengan binatang lainnya atau kehidupan non hayati. Manusia bisa memahami atau berusaha memahami niatnya sendiri melalui instropeksi, dan ia bisa menginterpretasikan perbuatan orang lain sehubungan dengan niatan yang mereka akui atau diduga mereka punyai.
Refleksi metodologis Weber jelas berhutang pada filsafat pencerahan. Titik tolak dan unik analisis paling utamanya adalah sosok individual. Sosiologi interpretative memandang individu dan tindakannya sebagai  satuan dasar, sebagai “atomnya” sekiranya perbandingan yang diperdebatkan bisa diterima. Dalam pendekatan ini individu juga dipandang sebagai batas teratas dan pembawa tingkah laku yang bermakna. Weber memilah berbagai “tipe” aneka tindakan bermotivasi. Tindakan-tindakan yang tercakup dalam sikap kelaziman rasional ia nilai secara khas sebagai tipe yang paling bisa dipahami, dan perbuatan “manusia ekonomis” adalah contoh utamanya. Tindakan-tindakan yang kurang “rasional” oleh Weber digolongkan, kaitannya dengan pencarian tujuan-tujuan absolute, sebagai berasa dari sentiment berpengaruh dalam (affectual sentiments)atau sebagai “tradisional”. Karena tujuan absolut dipandang oleh sosiolog sebagai data yang “terberi” (given) maka sebuah tindakan bisa menjadi rasional dengan mengacu pada sarana yang digunakan, tetapi irasional jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
                 Tindakan “afektual” , yang murni berasal dari sentiment, adalah tipe perbuatan yang kurang rasional. Dan akhirnya, mendekati level “instinctual” adalah perbuatan “tradisional” : tidak reflektif dan bersifat kebiasaan, tipe ini dikeramatkan karena “selalu dilakukan” dank arena itu dipandang tepat. Tipe-tipe tindakan ini dibentuk secara operasional kaitannya dengan sebuah skala rasionalitas.

 Referensi: Ritzer George. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar